Hubungan antara Kekuasaan dan Pengaruhnya Menurut French dan Raven

Posted: November 9, 2013 in Semester 3

Tentang Kekuasaan dan Pengaruhnya

Sebelum kita mengupas permasalahan yang berkaitan dengan kekuasaan kita perlu mengkaji dulu pengertian kekuasaan secara umum. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompk lain, sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Gejala kekuasaan ini adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua bentuk hidup bersama.

Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, dalam arti bahwa satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah. Satu pihak yang memberi perintah dan satu pihak yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu da unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan.

Salah seorang filsof yang menaruh perhatian intensif pada konsep kekuasaan adalah Machiavelli. Machiavelli hidup di Florence, Italia, pada Abad XVI (1469-1527) pada masa di mana perubahan besar yang menyertakan konflik tengah terjadi. Perubahan besar itu disebabkan oleh karena rumitnya nilai-nilai Abad Pertengahan yang ketika menyediakan iklim hirarki yang begitu kental, “ketertiban-yang menakutkan”, sampai dengan persoalan penyalahgunaan doktrin katolik guna kepentingan segelintir aktor sebagai akibat dari gelombang resistensi protestanisme yang sangat besar.

Machiavelli memanfaatkan situasi masa lampau itu (buruknya citra penguasa Abad Pertengahan) dengan menuangkan idenya tentang kekuasaan dalam bukunya, II Principle tersebut kini (dan pada masanya) sangat monumental sekaligus klasik yang membahas cara pandang kekuasaan dalam pendekatan yang sama sekali berbeda dengan pemahaman-pemahaman orang-orang pada Abad Pertengahan. Walau ia menitikberatkan konsep kekuasaannya pada kekerasan di mana menurutnya, para penguasa yang tidak setuju menggunakan kekerasan dalam aktivifas dalam berpolitik tidak akan memperoleh kekuasan yang optimal atau bahkan akan kehilangan kekuasaan yang dimilikinya. Namun, hasilnya pada bagian lain menerangkan bahwa penggunaan kekerasan yang terlalu berlebihan pun akan mengakibatkan konsekuensi yang negatif bagi penguasa itu sendiri. Karena itu, selain menebar ketakutan ia pun harus mampu menebar charisma bagi actor lain (individu maupun kelompok), sehingga, menurutnya lebih lanjut penguasa tidak hanya harus mampu menjadi seekor “serigala” tetapi juga ia musti mampu menjadi seekor “rubah”. Tapi ide lain yang begitu berbeda dengan zaman sebelumnya adalah, Machiavelli menggagas bentuk negara modern. Ia rnengatakan bahwa republik adalah bentuk negara yang cocok bagi negara-negara modern; yang sama sekali berbeda dengan rezim Monarki Absolut (seperti yang mengada pada Abad pertengahan). Dalam perspektifnya, Negara Republik adalah negara yang didasarkan atas kesepakatan bersama. Dalam bentuk ini (konsep kesepakatan bersama atau kemudian dikenal dengan istilah kontrak social, misalnya, gagasan Machiavelli diterima sangat luas oleh penerus-penerus pemilihannya, diantaranya adalah: Jean Jacques Rousseau, Alexander Hamilton, James Madison dan lain-lain. Lanjutnya, bentuk Negara Republik tidak menyediakan ruang yang sangat luas bagi kekuasaan absolut. Tetapi kekuasaan tersebar kepada diri-diri individu yang berdaulat, seperti juga yang disampaikan oleh Gene Sharp dalam bukunya The Politics of Nonviolent Action (1973).

Melalui gambaran tersebut di atas, secara tidak langsung, kita akan mendapat gambaran bahwakekuasaan selalu melekat pada negara. Lebih khusus lagi kekuasaan identik dengan penyelenggaraan negara yakni : pemerintah. Pemerintah dapat membuat kita mentaati apa-apa yang diminta olehnya. pemerintah membuat aturan, regulasi, dan produk hukum lainnya dalam rangka mengatur perikehidupan warga negaranya.

Kekuasaan seperti halnya “cinta” merupakan kata yang tidak pernah bosan-bosannya dipakai dalam pembicaraan sehari-hari. Ia mudah dipahami secara intuitif, tetapi jarang di definisikan. Dalam pengertian yang paling umum, kekuasaan mengacu kepada suatu jenis pengaruh yang dimanfaatkan oleh si objek, individu, atau kelompok terhadap yang lainnya. Seperti yang dikemukakan Dahl dalam artikel penelitiannya pada International Encyclopaedia of the Social Science (dalam Roderick Martin: 70) mengatakan bahwa istilah kekuasaan dalam ilmu sosial modern adalah “mengacu kepada bagian perangkat hubungan diantara satuan-satuan social seperti pada perilaku satu atau lebih satuan yang dalam keadaan tertentu tergantung kepada perilaku satuan-satuan yang lain”.

Kebanyakan teoritis sosiologi mendefinisikan kekuasaan dalam pengertian yang lebih sempit, yakni “sebagai suatu jenis hubungan yang khas diantara para objek, antara pribadi-pribadi dengan kelompok”. Dari definisi yang demikian ini, yang paling berpengaruh adalah yang dikemukakan Weber (dalam Roderick Martin:70) bahwa “kekuasaan adalah kemungkinan seorang perilaku mewujudkan keinginannya didalam suatu hubungan social yang ada termasuk dengan kekuatan tanpa menghiraukan landasan yang menjadi pijakan kemunkinan itu”.

Dimensi ini memberikan pangkal pijak bagi kebanyakan diskusi-diskusi dan konsep-konsep yang modern. Dahl misalnya mengemukakan dalam makalahnya yang berpengaruh, On the Concept of Power menurutnya kekuasaan digambarkan seperti A mempunyai kekuasaan terhadap B sejauh ia bias menyebabkan B melakukan sesuatu yang B sendiri tidak bias berbuat lain, (dalam Roderick Martin: 71).

Menurut French dan Raven

Psikolog sosial Michigan, French dan Raven menggunakan definisi yang sama dalam membahas teori lapangannya Lewin mengenai kekuasaan. Menurutnya kekuasaan “adalah kemampuan potensial dari seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi yang lainnya didalam system yang ada”, (dalam Roderick Martin: 71). Tetapi penghalusan terhadap konsep Weber yang kini tampaknya paling menonjol disodorkan oleh Dahrendorf dan Blau. Merekalah yang berhasil menembus kelemahan tertentu yang ada pada teori-teori Weber, sebagaimana yang tampak umumnya pada pengembangan pendekatan Weber.

Setelah secara blak-blakan mendukung definisi Weber, kemudian Dahrendorf mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu-individu daripada milik struktur sosial”, (dalam Roderick Martin: 71). Perbedaan yang penting adalah kekuasaan dengan otoritas terletak pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakekatnya diletakan pada kepribadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peranan sosial-kekuasaan, selalu merupakan suatu hubungan yang faktual, sedangkan otoritas merupakan suatu hubungan yang logis.

Perumusan yang menghilangkan wujud hubungan kekuasaan yang tidak terstruktur atau yang terjadi secara berulang-ulang ini merupakan sumber utama yang memunculkan konflik sosial.

French dan Raven mendefinisikan kekuasaan berdasarkan pada pengaruh; dan pengaruh berdasarkan pada pengubahan psikologis. Pengaruh adalah pengendalian yang dilakukan oleh seseorang dalam organisasi maupun dalam masyarakat terhadap orang lain. Konsep penting atas  dasar gagasan ini adalah bahwa kekuasaan merupakan pengaruh laten (terpendam), sedangkan pengaruh merupakan kekuasaan dalam kenyataan yang direalisasikan. French dan Raven mengidentifikasikan lima sumber basis kekuasaan.

1.    KEKUASAAN BALAS JASA (REWARD POWER)

2.    KEKUASAAN PAKSAAN (COERCIVE POWER)

3.    KEKUASAAN SAH (LEGITIMATE POWER)

4.    KEKUASAAN AHLI (EXPERT POWER)

5.    KEKUASAAN PANUTAN (REFERENT POWER)

 

Pengertian Legitimasi Kekuasaan

Legitimasi (Inu Kencana: 1997: 52) adalah suatu tindakan perbuatan dengan hokum yang berlaku, atau perbuatan yang ada, baik secara hokum formal, etis, adat istiadat, maupun hokum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara syah.

Jadi dalam legitimasi kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan secara legitimasi (legitimate power) adalah bila yang bersangkutan mengalami pengangkatan, sehingga dengan demikian yang bersangkutan dianggap abash memangku jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.

Secara etimologis legitimasi berasal dari bahasa Latin “Lex” yang berasal hokum. Kata legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal, dan legitim. Sesuatu yang tidak legal (biasa disebut dengan istilah ilegal) dianggap di luar peraturan yang syah, kendati peraturan itu sendiri bisa diciptakan oleh perbuatannya, kecuali hukum Allah yang sudah terpatri.

Oleh karena hal-hal yang disampaikan di atas itulah, maka legitimasi kekuasaan sangat penting, karena seseorang perebut kekuasaan lalu selanjutnya akan membuat hukum dan melaksanakan segala sesuatunya. Dengan demikian legitimasi juga mesti dikaitkan dengan norma dan agama. Di dalam pendemokrasian pemerintahan, legitimasi kekuasaan diimbangi dengan adanya pembagian kekuasaan.

Setelah secara legitimasi memperoleh kedudukan dengan abash, maka serta merta yang bersangkutan memiliki kekuasaan. Kekuasaan sendiri berasal dari kata “kuasa” yang berarti mampu, sanggup, dapat, atau kuat. Kekuasaan (Inu Kencana, 1997 :53) adalah kesempatan seseorang atau kelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkan terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.

Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap masyarakat baik yang masih bersahaja maupun yang sudah besar atau rumut susunannya. Akan tetapi walaupun selalu ada kekuasaan tidak dapat dibagi rata pada semua anggota masyarakat. Jadi kekuasaan dapat diidentifikasikan dari hasil pengaruh yang diinginkan seseorang atau sekelompok orang. Sehingga dengan demikian dapat merupakan suatu konsep kuantitatif, karena dapat dihitung hasilnya. Misalnya berapa luas wilayah jajahan seseorang, berapa banyak orang yang berhasil dipengaruhi, berapa lama yang bersangkutan berkuasa, berapa banyak uang dan barang yang dimilikinya.

    Dari uraian tersebut dimuka, berarti secara filsafati kekuasaan dapat meliputi ruang, waktu, barang dan manusia. Tetapi pada galibnya kekuasaan itu ditunjukan pada diri manusia, terutama kekuasaan pemerintahan dalam negara. Akan halnya kekuasaan negara dalam menguasai masyarakatnya, memiliki otoritas dan kewenangan. Otoritas dalam arti hak untuk memiliki legitimasi kekuasaan, dan sedangkan kewenangan dalam arti hak untuk ditaati.

Sebagai suatu kekuasaan yang dilembagakan, pemerintahan suatu negara tidak hanya tampak bagaikan kenyataan memiliki kekuasaan, tetapi juga diakui mempunyai hak untuk menguasai. Wewenang yang dimiliki suatu pemerintahan negara, dapat saja dipertanyakan apakah memiliki keabsahan atau tidak, misalnya bila ada kabinet dimensioner pada suatu sistem pemerintahan negara, lalu berdiri kabinet tandingan sebagai kabinet bayangan, apakah masyarakat mempercayai dan mengakuinya.

a.    PENGARUH, KEKUASAAN dan WEWENANG

Para penulis teori organisasi dan manajemen telah mendefinisikan dan menggunakan istilah-istilah “pengaruh”, “kekuasaan”, dan “wewenang” dengan berbagai macam cara dan tidak selalu dalam pengertian yang sama. Berdasarkan uraian pendapat.

b.   ELEMEN PROSES MEMPENGARUHI

Proses mempengarui mencakup 3 elemen unsur :

1.    Orang yang mempengaruhi            ( O )

2.    Metode mempengaruhi                   (     )

3.    Orang yang dipengaruhi                 ( P )

Jadi, secara singkat dapat digambarkan O    P. Dalam pengertian konvensional, bila O dapat mempengaruhi p untuk berperilaku tertentu atau bertindak dengan cara tertentu atau menyetujui sikap-sikap dan pendapat-pendapat tertentu atau dengan kata lain O telah mempengaruhi P.

c.    METODE MEMPENGARUHI

  • KEKUATAN FISIK
  • PENGGUNAAN SANKSI
  • KEAHLIAN
  •  KHARISMA

d.   DAERAH PENGARUH

  • ANTARA PERSEORANGAN
  • KELOMPOK DENGAN SESEORANG
  • SESEORANG DENGAN KELOMPOK

Leave a comment